SELAMAT DATANG DI SUARDANA'S BLOG

SEMOGA TULISAN-TULISAN YANG DIMUAT DALAM BLOG INI BERMANFAAT UNTUK ANDA

Minggu, 12 Februari 2012

DIAGNOSIS PERITONSILLAR ABSCESSES






I Made Suardana
1002005037



FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS UDAYANA
2011




KATA PENGANTAR


Om Swastyastu,
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas berkat rahmat-Nya karya tulis dengan judul ” Diagnosis Peritonsillar Abscesses” dapat selesai tepat pada waktu yang telah ditentukan.
Karya tulis ini disusun dalam rangka mengikuti studi pada blok Infection and Infectious Disease. Dalam kesempatan ini, Penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu kelancaran dalam proses penyusunan karya tulis ini, antara lain kepada :
1.      Prof. Dr.dr. Tuti Parwati Merati, Sp.PD, KPTI., selaku kepala Blok Infection and Infectious Disease atas bantuan materi studi yang telah diberikan
2.      Dr. dr Bagus Komang Satriyasa, M. Repro., selaku sekretaris Blok Infection and Infectious Disease atas bantuan arahannya dalam pembuatan karya tulis ini
3.      Rekan-rekan mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang telah memberikan bantuan moral dan material dalam penyusunan laporan ini.
Penulis menyadari bahwa Laporan Summary ini masih jauh dari sempurna, kritik dan saran yang membangun untuk membantu penyempurnaan sangat penulis harapkan. Semoga dapat bermanfaat bagi masyarakat luas.
Om Çantih, Çantih, Çantih Om
      Denpasar, November 2011




                                                                                                                        Penulis


DAFTAR ISI
           
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………...  1
KATA PENGANTAR. …….……………………………………………..  2
DAFTAR ISI  …………………………………………………………….  3
DAFTAR TABEL…………………………………………………………  4
DAFTAR GAMBAR ……………………………………………………... 5
1.      BAB I
Pendahuluan        
1.1.   Peritonsilar Abscesses .................................................................... 6
a.       Epidemiologi  ……..................................................................   6
b.      Etiologi …………….................................................................. 6
c.       Patologi…………….................................................................. 7
d.      Manifestasi Klinis ….................................................................. 7
e.       Komplikasi ……. ….................................................................. 8

2.      BAB II
Diagnosis
2.1.   Anamnesis …..................................................................................  9
2.2.   Pemeriksaan Fisik …………………..............................................   9
2.3.   Pemeriksaan Laboratorium ………………………………………..  10
A.    Computerized Tomography (CT Scan) …………………….....   10
B.     Magnetic Resonance Imaging (MRI) ……………………….....  10
C.     Intraoral Ultrasonography ……………………………………..  11
D.    Aspirasi Jarum ………………………………………………. ..  11
E.     Pemeriksaan Lain …………………………………………… .   12
2.4.   Diagnosis Banding ………………………………………………..   12
3.      Kesimpulan..........................................................................................   13

DAFTAR PUSTAKA            .....……………………………………………. 14
LAMPIRAN….………………………………………………………….....    15
DAFTAR TABEL

1.      Tabel 1. Bakteri yang sering mengakibatkan Peritonsillar Abscesses.…… 6




DAFTAR GAMBAR

1.      Gambar 1. Penyimpangan uvula kearah kontralateral
tonsil akibat terjadinya abses ……………………………...  9
2.      Gambar 2. Hasil CT scan dengan Peritonsillar Abscesses
Disebelah kanan…………………………………………...   10
3.      Gambar 3.  Intraoral Ultrasonography ………………………………...  11
4.      Gambar 4. Aspirasi jarum terhadap penderita
Peritonsillar Abscesses………………………………………….   11
                                                                                                                               




BAB I
PENDAHULUAN
1.1 PERITONSILLAR ABSCESSES
a.      Epidemiologi
Peritonsillar Abscesses (PTA) adalah penyakit infeksi yang paling sering terjadi pada bagian leher orang dewasa. Insiden PTA sebenarnya dapat terjadi pada semua kelompok umur namun paling banyak terjadi pada orang dewasa dengan rentang usia 20-40 tahun. 1,2  Pada anak-anak penyakit ini jarang terjadi, kecuali pada anak yang mengalami penurunan sistem kekebalan tubuh, namun apabila terjadi pada anak-anak, sering berakibat fatal, karena dapat terjadi obstruksi pada jalan nafas. Penyakit ini dapat terjadi pada pria maupun wanita dengan rasio yang relative sama. Angka Insiden dari Peritonsillar Abscesses akan meningkat pada bulan November hingga Desember dan April hingga Mei dimana pada saat itu biasanya  terjadi peningkatan insiden streptococcal pharyngitis dan exudative tonsillitis yang sering berlanjut menjadi abses.1
b.      Etiologi
Infeksi pada PTA paling sering disebabkan oleh Streptococcus pyogenes ( grup A beta-hemolytic streptococcus) pada kelompok aerob dan Fusobacterium pada kelompok anaerob. Pada abses yang lebih lanjut sering terjadi infeksi yang disebabkan oleh kombinasi dari berbagai jenis bakteri baik aerob maupun anaerob.1,2
Tabel 1. Bakteri yang sering mengakibatkan Peritonsillar Abscesses.2
Aerob
Anaerob
Streptococcus pyogenes
Fusobacterium
Staphylococcus aureus
Peptostreptococcus
Haemophilus influenza
Prevotella
Neisseria species
Bacteroides


a.      Patologi
Dilihat dari struktur anatominya setiap tonsil memiliki beberapa  krypta pada permukaannya dan dikelilingi oleh kapsul yang menyediakan tempat untuk pembuluh darah dan sel-sel saraf .2  Pada daerah diantara langit-langit dan bagian superior dari tonsil terdapat beberapa kelenjar yang disebut kelenjar Weber yang terdiri dari 20-25 kelenjar ludah yang dihubungkan dengan sebuah saluran kecil pada permukaan tonsil. Sekresi kelenjar ini akan membersihkan tonsil dari debris dan sisa-sisa makanan yang terperangkap pada krypta di permukaan tonsil.1 Apabila kelenjar ini tidak berfungsi dengan baik, seperti akibat terjadinya infeksi atau pada bagian anterior tonsil tidak memperoleh secret yang cukup maka dapat terjadi pengendapan sisa-sisa makanan dan debris pada krypta yang akan menyebabkan terjadinya infeksi. Apabila infeksi berlanjut akan terjadi inflamasi yang akan menyebabkan obstruksi pada saluran dari sekresi kelenjar ludah. Pada akhirnya akan terjadi nekrosis pada jaringan tersebut dan terbentuklah cairan nanah (pus) yeng merupakan gejala khas dari PTA. Abses yang terbentuk biasanya berada diantara palatine tonsil dan kapsulnya1

b.      Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis yang sering ditemukan pada kasus Peritonsillar Abscesses diantaranya pasien akan mengalami demam, sakit tenggorokan, malaise, dan dysphagia serta otalgia, selain itu pasien sering kali mengalami kesulitan untuk membuka mulut akibat  rasa sakit yang ditimbulkan oleh inflamasi dan spasme pada otot rahang(trismus). 1  Pembengkakan yang terjadi menyebabkan rasa sakit yang teramat sangat, hal ini akan menyebabkan sekresi air liur yang berlebihan. Suara pasien sering kali terdengar tidak jelas yang sering disebut “hot potato voice”. 2  Pada kasus yang lebih parah abses yang terjadi dapat meluas ke struktur anatomy di sekitar tonsil, seperti otot pterygoid, otot-otot penggerak rahang, bahkan dapat merusak nadi karotis yang dekat dengan sumber abses tersebut.2 Apabila tidak ditangani dengan segera dan cairan nanah yang terkumpul tidak dikeluarkan kasus Peritonsillar Abscesses akan dapat mengancam nyawa pasien, karena bisa terjadi rupture pada jalan nafas, pecahnya arteri karotis dan dapat terjadi infeksi regional yang berujung pada sepsis.3

c.       Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul pada abses peritonsiler antara lain : Nephritis, peritonitis, mediastinitis, selain itu abses dapat pecah secara spontan, mengakibatkan terjadi perdarahan, aspirasi paru atau pyernia. Penjalaran infeksi dan abses ke daerah parafaring sehingga terjadi abses parafaring. Bila terjadi penjalaran ke daerah intrakranial dapat mengakibatkan trombus sinus kavemosus, meningitis dan abses otak. 4




BAB II
DIAGNOSIS
2.1 ANAMNESIS
Pada hampir semua kegiatan  anamnesis pada pasien wajib ditannyakan segala hal yang  berkaitan dengan “ sacred seven dan basic four”  yakni; onset, location, chronology, quantity, quality, modifying factor, associated symptom, dan Present illness, past medical history, family history serta social factor. Terlepas dari kewajiban untuk melakukan anamnesis secara menyeluruh, hal terpenting yang perlu ditanyakan yakni lokasi dari rasa sakit yang dirasakan pasien, karena dengan demikian pasien akan menunjukkan lokasi terjadinya abses dan  pemeriksaan selanjutnya akan dapat lebih terfokus.2  Pada saat anamnesis perlu juga ditanyakan apakah pasien memiliki riwayat demam, kesulitan menelan dan kemungkinan pernah menelan benda asing, hal ini bertujuan untuk mengetahui kemungkinan adanya reaksi inflamasi akibat adanya infeksi serta mengetahui kemungkinan penyebab infeksi.2

2.2 PEMERIKSAAN FISIK

Dalam pemeriksaan fisik terhadap pasien PTA, dapat ditemukan beberapa ciri khas diantaranya; Pada saat inspeksi terdapat erythema atau warna kemerahan serta pembengkakan terjadi disekitar tonsil, hal ini diakibatkan adanya reaksi inflamasi akibat infeksi yang terjadi. Terlihat adanya edema yang diakibatkan adanya cairan nanah yang terdapat di bawah kapsul dari tonsil palatin. Uvula atau anak tekak akan menyamping menuju ke arah contralateral dari daerah terjadinya abses.2 Pada saat insfeksi juga dapat ditemukan adanya sekresi ludah yang berlebih pada pasien, hal ini diakibatkan karena rasa sakit yang diakibatkan karena adanya inflamasi di daerah tenggorokan.1 Pasien seringkali berbicara dengan intonasi suara yang tidak jelas atau yang sering disebut “hot potato voice”. Serta terjadi trismus( kesulitan dalam membuka mulut) akibat adanya inflamasi pada  celah pharyngomaxillary dan otot pterygoid. Pada saat palpasi, di daerah yang dicurigai akan ditemukan adanya  cervical lymphadenitis  yang tidak terlalu padat dan cenderung lembek.1

2.3 PEMERIKSAAN LABORATORIUM
A.     COMPUTERIZED TOMOGRAPHY (CT SCAN)

Pada pemeriksaan dengan Computerized Tomography (CT scan) pada tonsil dapat terlihat daerah yang hipodens yangmenandakan adanya cairan pada tonsil yang terkena disamping itu juga dapat dilihat pembesaran yang asimetris pada tonsil. CT scan sering digunakan untuk membedakan Peritonsillar Abscesses dengan Peritonsillar Cellulitis, dimana sebenarnya pada Peritonsillar Cellulitis tidak terdapat abses di area tonsil, hal ini diperlukan agar dapat memastikan perlu atau tidaknya dilakukan pemeriksaan lebih lanjut berupa aspirasi1. Apabila pada pasien yang mengalami Peritonsillar Cellulitis dilakukan aspirasi dengan menggunakan jarum maka tidak akan diperoleh cairan nanah melainkan akan terjadi pendarahan akibat injeksi jarum ke jaringan.

B.     MAGNETIC RESONANCE IMAGING (MRI)
Magnetic resonance Imaging (MRI) juga memiliki mekanisme kerja yang sama dengan CT scan namun pada penggunaan MRI dapat dilakukan pemeriksaan abses pada jaringan lunak tanpa disertai paparan radiasi, selain itu kelebihan MRI diantaranya juga dapat memeriksa komplikasi infeksi pada jaringan yang lebih dalam seperti internal jugular vein thrombosis, serta abses pada daerah disekitar arteri karotis. Kelemahan dari MRI yakni lamanya waktu scanning, harga yang mahal, terbatasnya alat, serta kemungkinan terjadinya claustrophobia pada pasien.1

C.    INTRAORAL ULTRASONOGRAFI

 Intraoral Ultrasonografi, merupakan teknik yang simple dan noninvasif dan dapat membantu dalam membedakan antara selulitis dan awal dari abses, sama seperti CT scan hal ini akan mencegah terjadinya kesalahan dalam proses selanjutnya. Pemeriksaan ini juga bisa menunjukan secara pasti tempat terjadinya abses sehingga pada saat operasi atau aspirasi dengan menggunakan jarum dapat lebih terarah serta dapat melakukan drainase secara pasti. Pemeriksaan ini dilakukan dengan memasukan alat USG oral ke mulutpasien sehingga akan diperoleh gambaran tentang lokasi abses, karena sering kali abses terjadi di banyak tempat dan aspirasi tidak akan dapat mengeluarkan cairan nanah apabila hanya dilakukan sekali di satu tempat saja.3

D.     ASPIRASI JARUM
Baku emas (Gold Standard) dari diagnosis Peritonsillar Abscesses adalah dengan mengambil sampel cairan nanah (pus) dari abses dengan cara aspirasi menggunakan jarum. Tempat aspirasi dibius atau dianestesi menggunakan lidocaine dengan epinephrine dan jarum besar (berukuran 16–18) yang biasa menempel pada syringe berukuran10cc. Aspirasi material yang bernanah (purulent) merupakan tanda khas pada PTA, cairan yang diperoleh  dikirim ke laboratorium untuk pemeriksaan gram stain dan pembuatan kultur agar dapat menentukan pengobatan yang sesuai. 2 Komplikasi yang sering terjadi pada aspirasi dengan jarum diantaranya bercampurnya nanah dengan darah, pendarahan, dan apabila abses terjadi pada region distal dari tonsil, dapat terjadi kesalahan dalam penusukan jarum, dimana artery karotis sering tertusuk pada proses ini.4

E.     PEMERIKSAAN LAIN
Selain beberapa pemeriksaan diatas, pemeriksaan penunjang lain yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis dari Peritonsillar Abscesses diantaranya; 1.  Hitung darah lengkap ( complete blood count) yang bertujuan untuk mengetahui peningkatan beberapa komponen dari limfosit yang merupakan penanda dari terjadinya infeksi. 2. Tes Monospot (antibodi heterophile) perlu dilakukan pada pasien dengan tonsillitis dan bilateral cervical lymphadenopathy. Jika hasilnya positif,penderita memerlukan evaluasi/penilaian hepatosplenomegaly. Liver function tests perlu dilakukan pada penderita dengan hepatomegaly.
2.4 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding yang paling mendekati Peritonsillar Abscesses yakni Peritonsillar Cellulitis, karena pada Peritonsillar Cellulitis juga terjadi edema dan erithema pada jaringan diantara tonsil dan kapsulnya, perbedaannya pada selulitis belum ditemukan adanya nanah (pus).1  Selulitis sebenarnya dapat menjadi awal terjadinya abses, namun penanganannya agak sedikit berbeda karena pada selulitis tidak dapat dilakukan aspirasi jarum dan operasi pembedahan.  Selain selulitis, terdapat beberapa penyakit yang gejalanya hampir mirip dengan Peritonsillar Abscesses Mononucleosis, Foreign body aspiration, Neoplasms (lymphoma, leukemia) Tonsillar abscess, Cervical adenitis, infeksi pada gigi, kelenjar ludah, Mastoid sertaAneurysm of internal carotid artery.2



BAB III KESIMPULAN

1.      Peritonsillar Abscesses merupakan penyakit infeksidalam yang sering terjadi pada orang dewasa pada rentang usia 20-40 tahun. Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri aerob dan anaerob seperti Streptococcus pyogenes dan Fusobacterium. Infeksi yang terjadi akan menyebabkan terbentuknya nanah (pus) pada jaringan diantara tonsil palatin dan kapsulnya, hal ini mengakibatkan terjadi edema, erithema, trismus, dan “hot potato voice”  pada pasien. Apabila tidak ditangani dengan benar dan segera,  Peritonsillar Abscesses dapat mengancam nyawa pasien karena dapat menmicu sepsis, serta rupturnya arteri karotis yang berada di dekat tempat terjadinya abses.

2.      Diagnosis Peritonsillar Abscesses dapat ditegakkan apabila telah melalui serangkaian proses, yang meliputi; Anamnesis,yang bertujuan untuk mengetahui semua riwayat yang berhubungan dengan keluhan pasien. Pemeriksaan fisik yang bertujuan untuk menemukan tanda-tanda khas dari penyakit Peritonsillar Abscesses pada diri pasien seperti edema pada tonsil, erithema, trismus, spasme dan “hot potato voice” . Selain itu perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan laboratorium dengan menggunakan CT scan, MRI, Intraoral Ultrasonography, dan Aspirasi jarum yang merupakan baku emas dari diagnosis Peritonsillar Abscesses.



DAFTAR PUSTAKA

1.      Galioto, Nicholas J.  Peritonsillar Abscesses. American Academy of Family Physicians. 2008; 199-202
2.      Steyer TE. Peritonsillar abscess: diagnosis and treatment. American Academy of
Family Physicians. 2002; 93-96

3.      Lyon, Matthew  &  Blaivas, Michael.  Intraoral Ultrasound in the Diagnosis and Treatment of Suspected Peritonsillar Abscesses in Emergency Department. Academic Emergency Medicine. 2005; 85-88

Sibbitt, Randy R. Sibbitt, Wilmer L. Palmer, Dennis J. Bankhurst, Arthur D. Helena. Albuquerque. Needle aspiration o f peritonsillar abscess with the new safety technology: The reciprocating procedure device. American Academy of  otolaryngology - Head and Neck Surgery Foundation

Tidak ada komentar:

Posting Komentar